Modernisasi....
Sebuah Kata kunci
yang menentukan karakter diri seseorang di era globalisasi ini. Apalah daya,
sebagai sebuah bangsa kita semakin kehilangan arah untuk melaju ke depan.
Bagaimana tidak? Jangankan
melaju kedepan, kita tak tahu mana yang depan mana yang belakang. Kini kita
didera oleh berbagai macam tawaran nikmatnya surga dunia.
Dipelihara
kekanak-kanakan dengan menjadikan kita manusia yang sangat konsumtif terhadap
segala hal.
Pakaian kekinian,
wisata kekinian, hp kekinian, pergaulan kekinian, motor kekinian, mobil
kekinian, kacamata kekinian, helm kekinian, opo maneh rek??
Hijab pun
kekinian.....
Sebagai bangsa, kita tidak perlu
menyalahkan itu semua dan hendaknya kita mampu menjaga martabat kita atau lebih
tepatnya membenahi. Sadar ataupun tidak bahwa martabat kita sudah terjajah oleh
adanya modernisasi.
Lha dulur-dulurku hendaknya paham bahwa
salah satu kunci dari martabat bangsa indonesia adalah adanya etika dalam
berhubungan. Berikut ini akan saya jelaskan etika hubungan ke siapa saja yang
hilang di era modern ini:
1.
Etika Terhadap orangtua
Budaya
kita menjunjung tinggi apa itu penghormatan terhadap orang yang lebih tua.
Jangan menyamakan ini dengan “menyembah” orangtua, namun lebih pada
penghargaan.
Masyarakat
kita mewariskan berbagai macam tata cara untuk melakukan penghargaan terhadap
orangtua, namun kini semakin hilang akibat adanya unsur luar yang masuk.
Contohnya
banyak kok lur, misal ketika orangtua ngomong kita berani menyanggah dan
menceramahi mereka. Lho kok? Padahal hanya karena kita sudah berilmu dari
googling, jadi pinter debat
2.
Etika terhadap Guru
Konsep
“digugu lan ditiru” ludes habis di era modern ini. Semakin hari anak-anak kita
semakin tidak takut dengan perkataan dan kemarahan guru. Bahkan, dengan
bangganya kita membangkang segala nasehat mereka.
Guru
sebagai sumbernya ilmu, dikalahkan oleh mbah google ataupun media-media lain.
Kita menjadi seolah orang yang pinter ketimbang mereka. Padahal sebenarnya kita
hanya menjadi korban dari ilmu/ informasi media
3.
Etika Terhadap Teman
Jikalau
terhadap orangtua saja melupakan etika, apalagi terhadap teman lur? Logikanya
gitu kan?
Terhadap
teman menjadi semakin berani jika tidak sesuai dengan keinginan kita. Bahkan
seringkali kita menyakiti hati mereka dengan menunjukan akhlaq yang tidak
sesuai, seperti: pengumbaran aib, fitnah, dsb
4.
Etika Terhadap Saudara
Rasa
persaudaraanpun bisa renggang ketika seseorang habis hidupnya untuk mengejar
tren. Kini persaudaraan yang harusnya saling mengasihi justru menjadi sebuah
ajang persaingan di dalam materi dan kekayaan.
Lebih
jauh, mereka bahkan memiliki sikap rasa dengki satu sama lain jika yang salah
satunya lebih unggul. Dampak jangka panjangnya adalah ketidakharmonisan di
dalam hubungan kekeluargaan.
5.
Etika Terhadap tetangga
Lur,
kehidupan di lingkungan pedesaan nampaknya menjadi sebuah lingkungan dengan
tingkat keakraban yang lebih tinggi dari pada perkotaan. Intensitas mereka
“ngrumpi” tentu lebih tinggi pula.
Namun,
kini dalam budaya tersebut memunculkan sikap dengki apabila tetangganya lebih
sukses dalam harta. Bahkan kehidupan di desa terbagi menjadi kelompok kaya
dengan kaya dan miskin dengan miskin. Tampilannya pun menjadi berbeda diantara
keduanya.
6.
Etika Terhadap Mertua atau
sebaliknya (menantu)
Dalam
lingkup kekeluargaan, hubungan dengan mertua / menantu menjadi sesuatu yang
seringkali menjadi masalah. Apalagi ketika sebuah keluarga belum memiliki rumah
sendiri, maka lebih berpotensi terjadi cekcok dalam kekeluargaan.
Problem
dasarnya adalah pada penghormatan atau egoisitas. Menantu terkadang enggan
menghormati mertua, bahkan kurang “ngajeni” di dalam bersikap. Hal ini dipicu
salah satunya oleh gengsi terhadap gaya hidup.
Misal,
menantu menginginkan parkir yang luas karena akan membeli mobil yang belum
tentu penting di dalam kesehariannya.
pada akhirnya...ketika seseorang selalu berpikir untuk memenuhi keinginan dalam gaya kehidupan, dia akan semakin kehilangan martabatnya sebagai bangsa. Karena gaya kekinian itu, berlawanan dengan martabat sebagai bangsa indonesia
Piye perasaanmu Lur, jika hidup untuk bergaya?
Comments